Saya mengutip apa yang disampaikan oleh Asep Rahmat Fajar dalam salah satu makalahnya yang berjudul Pembaharuan Kejaksaan : keharusan ditengah berbagai permasalahan, yang disampaikan dalam Seminar Nasional ”Strategi peningkatan kinerja kejaksaan RI” di gedung pascasarjana UNDIP semarang tanggal 29 Nopember 2008, bahwa permasalahan tersisa dalam jaksa dan kejaksaan adalah sebagai berikut :
1. Saat ini telah terjadi dilema atas posisi kejaksaan dalam struktur ketatanegaraan. Dalam undang-undang tentang kejaksaan dinyatakan bahwa kejaksaan adalah lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara dalam bidang penuntutan. Posisi tersebut sebenarnya tidak bermasalah apabila dalam melaksanakan tugasnya jaksa memiliki independensi tanpa adanya intervensi dari pemerintah.
2. Sistem rekrutmen jaksa yang berlangsung selama ini berpotensi dipengaruhi oleh praktek-praktek korupsi, kolusi dan nepotisme.
3. Sistem promosi dan mutasi di kejaksaan dinilai belum berhasil menampilkan jaksa-jaksa yang memiliki kredibilitas dan integritas tinggi dalam posisi kepemimpinan kejaksaan, Hal ini diperkuat adanya perbedaan yang cukup mencolok/diskrepansi antara seorang jaksa dengan jaksa lainnya terkait lamanya seorang jaksa menempati suatu jabatan tertentu.
4. Belum adanya parameter yang komprehensif dan terukur untuk menilai kinerja dan integritas seorang jaksa. Selama form penilaian yang digunakan adalah form penilaian pegawai negeri sipil dan berbagai form khusus namun tidak cukup jelas alat ukur yang dipergunakan.
5. Terkait sarana dan prasarana (termasuk di dalamnya anggaran operasional) sampai saat ini masih sangat kurang, hal ini kemudian untuk kasus tertentu pasti akan berimbas kepada tidak optimalnya hasil dari kinerja jaksa dan kejaksaan (misalnya hasil dari proses penyidikan yang ditopang oleh dana yang minim dll).
Sabtu, 10 Januari 2009
PERSEPSI MASYARAKAT MENGENAI PENGADILAN YANG BAIK
PERSEPSI MASYARAKAT MENGENAI PENGADILAN YANG BAIK
Oleh : Prof.DR. H. Bagir Manan, SH.MCL
Menurut Bagir manan berdasarkan rekaman subyektif memberikan kriteria bagaimana persepsi masyarakat mengenai pengadilan dan peradilan yang baik. Tulisan ini dimaksudkan untuk dijadikan perhatian bagi para hakim guna dijadikan pendorong dan percepat terwujudnya kembali pengadilan yang berwibawa, terhormat dan dihormati.
Persepsi masyarakat mengenai pengadilan dan peradilan yang baik, adalah :
1. Pengadilan dan peradilan yang baik kalau dalam setiap perkara pidana terutama korupsi, pembalakan kayu atau pelanggaran hak asasi manusia selalu menemukan kesalahan terdakwa dan menjatuhkan hukuman seberat-beratnya. Tidak boleh ada terdakwa yang dibebaskan, atau dilepaskan atau diringankan.
2. Pengadilan dan peradilan yang baik kalau independent, hakim bebas dari tekanan dan campur tangan pemerintah.
3. Pengadilan dan peradilan yang baik kalau senantiasa memperhatikan rasa keadilan masyarakat.
4. Pengadilan dan peradilan yang baik kalau hakim adil, jujur, berpengetahuan tinggi, cakap, rendah hati, berhati-hati, berintegritas dan disiplin
5. Pengadilan dan peradilan yang baik kalau bekerja efisien dan efektif seperti memutus dengan cepat.
6. Pengadilan dan peradilan yang baik, kalau menjamin keterbukaan (tranparancy) dan akses publik.
Oleh : Prof.DR. H. Bagir Manan, SH.MCL
Menurut Bagir manan berdasarkan rekaman subyektif memberikan kriteria bagaimana persepsi masyarakat mengenai pengadilan dan peradilan yang baik. Tulisan ini dimaksudkan untuk dijadikan perhatian bagi para hakim guna dijadikan pendorong dan percepat terwujudnya kembali pengadilan yang berwibawa, terhormat dan dihormati.
Persepsi masyarakat mengenai pengadilan dan peradilan yang baik, adalah :
1. Pengadilan dan peradilan yang baik kalau dalam setiap perkara pidana terutama korupsi, pembalakan kayu atau pelanggaran hak asasi manusia selalu menemukan kesalahan terdakwa dan menjatuhkan hukuman seberat-beratnya. Tidak boleh ada terdakwa yang dibebaskan, atau dilepaskan atau diringankan.
2. Pengadilan dan peradilan yang baik kalau independent, hakim bebas dari tekanan dan campur tangan pemerintah.
3. Pengadilan dan peradilan yang baik kalau senantiasa memperhatikan rasa keadilan masyarakat.
4. Pengadilan dan peradilan yang baik kalau hakim adil, jujur, berpengetahuan tinggi, cakap, rendah hati, berhati-hati, berintegritas dan disiplin
5. Pengadilan dan peradilan yang baik kalau bekerja efisien dan efektif seperti memutus dengan cepat.
6. Pengadilan dan peradilan yang baik, kalau menjamin keterbukaan (tranparancy) dan akses publik.
STRATEGI PENINGKATAN KINERJA KEJAKSAAN RI
STRATEGI PENINGKATAN KINERJA KEJAKSAAN RI
Oleh : Jaksa Agung Hendarman Supandji
Akhir-akhir ini kejaksaan mendapat sorotan negatif dari masyarakat yang menurunkan citra dan kredibilitas kejaksaan akibat dari perilaku oknum jaksa.
Untuk kembalikan citra kejaksaan maka telah dilakukan pembaruan kejaksaan yang dilanjutkan peluncuran program Reformasi Birokrasi dengan harapan akan tercipta kinerja kejaksaan yang lebih kredibel dan mengedepankan pelayanan publik dalam penegakan hukum.
Penegakan hukum yang mengutamakan pelayanan publik, kejaksaan harus mempertanggungjawabkan kinerjanya secara transparan, tidak saja kepada presiden dan DPR tetapi juga kepada publik.
Dalam pelaksanaan tugas dan wewenang kejaksaan, berlandaskan kepada doktrin Tri Krama Adhyaksa yaitu :
SATYA : Kesetiaan yang bersumber pada rasa jujur, baik terhadap Tuhan YME, terhadap diri pibadi dan keluarga maupun kepada sesama manusia.
ADHI : Kesempurnaan dalam bertugas dan berunsur utama pemilikan rasa tanggungjawab- bertanggungjawab baik terhadap Tuhan YME, terhadap keluarga dan terhadao sesama manusia
WICAKSANA : Bijaksana dalam tutur kata dan tingkah laku khususnya dalam pengetrapan kekuasaan dan kewenangannya.
Program reformasi birokrasi kejaksaan disusun menyangkut hal-hal sbb :
1. Reformasi organisasi dan tata kerja kejaksaan serta sumber daya manusia
2. Reformasi organisasi dan tata kerja bidang intelijen
3. Reformasi manajemen perkara
Disamping itu juga akan dilakukan restrukturisasi dan optimalisasi fungsi kejaksaan, mengingat dari jumlah jaksa seluruh indonesia sekitar 7.849 yang menduduki jabatan struktural berjumlah 7.496, artinya hanya sekitar 353 jaksa yang secara fungsional seratus persen menjalankan fungsinya sebagai penuntut umum.
Dari segala keterbatasan yang ada kejaksaan telah berusaha melaksanakan upaya2 percepatan dan optimalisasi penanganan perkara yakni :
1. Program 3-5-1 (dalam penanganan perkara)
2. Membentuk satuan khusus penanganan korupsi (satsus PPTPK)
3. Bentuk satuan tugas penganganan terorisme dan kejahatan lintas negara.
4. Peningkatan eksaminasi perkara
5. peningkatan pengawasan internal
Oleh : Jaksa Agung Hendarman Supandji
Akhir-akhir ini kejaksaan mendapat sorotan negatif dari masyarakat yang menurunkan citra dan kredibilitas kejaksaan akibat dari perilaku oknum jaksa.
Untuk kembalikan citra kejaksaan maka telah dilakukan pembaruan kejaksaan yang dilanjutkan peluncuran program Reformasi Birokrasi dengan harapan akan tercipta kinerja kejaksaan yang lebih kredibel dan mengedepankan pelayanan publik dalam penegakan hukum.
Penegakan hukum yang mengutamakan pelayanan publik, kejaksaan harus mempertanggungjawabkan kinerjanya secara transparan, tidak saja kepada presiden dan DPR tetapi juga kepada publik.
Dalam pelaksanaan tugas dan wewenang kejaksaan, berlandaskan kepada doktrin Tri Krama Adhyaksa yaitu :
SATYA : Kesetiaan yang bersumber pada rasa jujur, baik terhadap Tuhan YME, terhadap diri pibadi dan keluarga maupun kepada sesama manusia.
ADHI : Kesempurnaan dalam bertugas dan berunsur utama pemilikan rasa tanggungjawab- bertanggungjawab baik terhadap Tuhan YME, terhadap keluarga dan terhadao sesama manusia
WICAKSANA : Bijaksana dalam tutur kata dan tingkah laku khususnya dalam pengetrapan kekuasaan dan kewenangannya.
Program reformasi birokrasi kejaksaan disusun menyangkut hal-hal sbb :
1. Reformasi organisasi dan tata kerja kejaksaan serta sumber daya manusia
2. Reformasi organisasi dan tata kerja bidang intelijen
3. Reformasi manajemen perkara
Disamping itu juga akan dilakukan restrukturisasi dan optimalisasi fungsi kejaksaan, mengingat dari jumlah jaksa seluruh indonesia sekitar 7.849 yang menduduki jabatan struktural berjumlah 7.496, artinya hanya sekitar 353 jaksa yang secara fungsional seratus persen menjalankan fungsinya sebagai penuntut umum.
Dari segala keterbatasan yang ada kejaksaan telah berusaha melaksanakan upaya2 percepatan dan optimalisasi penanganan perkara yakni :
1. Program 3-5-1 (dalam penanganan perkara)
2. Membentuk satuan khusus penanganan korupsi (satsus PPTPK)
3. Bentuk satuan tugas penganganan terorisme dan kejahatan lintas negara.
4. Peningkatan eksaminasi perkara
5. peningkatan pengawasan internal
Peranan Kejaksaan dalam Sistem Peradilan Pidana Terpadu
A.PENDAHULUAN
Pada era reformasi sekarang ini masyarakat sangat mendambakan agar kekuasaan kehakiman lebih independen dan lebih peka terhadap tuntutan zaman. Independen maksudnya bebas dari tekanan, pengaruh dan isyarat dari eksekutif. Banyak faktor yang mempengaruhi independensi kekuasaan kehakiman baik itu faktor intern maupun faktor ektern. Faktor intern diantaranya terkait dengan SDM hakim, rekrutmen hakim, pendidikan hakim dan juga kesejahteraan hakim. Adapun faktor ekstern diantaranya peraturan perundang-undangan, intervensi proses peradilan, hubungan hakim dengan penegak hukum lainnya, kesadaran hukum dan juga system pemerintahan/politik.
Namun selain independent dengan segala faktor pengaruhnya tersebut, kekuasaan kehakiman juga harus dilaksanakan secara terpadu, artinya saling terkait satu sama lain dan yang terpenting ialah saling kontrol. Jika suatu sistem peradilan pidana tidak saling kontrol, maka tidak dapat kita berbicara tentang Peradilan Pidana Terpadu.
Ketiadaan atau ketidakmaksimalan saling kontrol antar penegak hukum biasanya lebih disebabkan oleh egoisme sektoral. Egoisme sektoral ini dipicu oleh nafsu ingin berkuasa sepenuh-penuhnya dan juga adanya sikap arogansi. Oleh karenanya, dalam rangka mencapai peradilan terpadu, egoisme sektoral harus jauh-jauh dibuang.
Bahwa untuk membentuk Sistem Peradilan Pidana Terpadu, maka ide/jiwa spirit “Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka dan Mandiri” harus terwujud secara integral dalam keseluruhan kebijakan legistalir/perundang-undangan yang mengatur seluruh proses/sistem kekuasaan penegakan hukum.
Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 (yang asli) berbunyi “Kekuasaan Kehakiman dijalankan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang”. Menurut pendapat Andi Hamzah yang dimaksud badan kehakiman lain menurut undang-undang tersebut salah satunya termasuk Jaksa Agung pada Mahkamah Agung. Demikian juga menurut pendapat Barda Nawawi Arief yang dimaksud dengan badan peradilan lain itu adalah polisi dan jaksa.
Bahwa setelah amandemen ke- III (Nopember 2001), pasal 24 ayat (1) UUD’45 berbunyi “Kekuasaan kemakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”. Selanjutnhya dalam ayat (2) dinyatakan bahwa, kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan “badan peradilan yang ada dibawahnya” dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Perubahan ini justru memberi kesan kuat bahwa kekuasaan kehakiman yang merdeka hanyalah kekuasaaan untuk “menyelenggarakan peradilan” atau “kekuasaan mengadili”.
Hal ini menurut penulis, politik hukum pemerintah dalam hal kekuasaan kehakiman dengan amandemen pasal 24 UUD 1945 adalah kurang tepat, karena justru telah mengalami kemunduran, dimana sebelum dilakukan amandemen kemandirian kekuasaan kehakiman adalah juga termasuk kemandirian Jaksa dan polisi (badan kehakiman lain) yang memang merupakan satu kesatuan (sub-sistem) dari badan peradilan sebagai pemegang kekuasaan Negara dalam menegakkan hukum dan keadilan. Dan dengan amandemen justru menempatkan polisi dan jaksa terlepas dari kekuasaan kehakiman dan masuk dalam kekuasaan eksekutif, sehingga akan sangat sulit polisi dan jaksa dapat menjalankan tugas dan wewenangnya secara merdeka dan mandiri.
Memang benar, bahwa hakim bebas dalam mengambil keputusan, namun hakim tetap terikat dengan apa yang didakwakan dan dituntut oleh Penuntut Umum, hakim tidak boleh menjatuhkan pidana di luar dakwaan penuntut umum, demikian juga apa yang didakwakan oleh Penuntut Umum dalam persidangan juga tidak terlepas dari apa yang dibuat oleh penyidik dalam proses penyidikannya.
B.PERMASALAHAN
Dari latarbelakang sebagaimana diuraikan dalam pendahuluan timbul permasalahan “Bagaimana indenpendensi kejaksaan dalam kaitannya dengan system peradilan pidana terpadu”.
C.PEMBAHASAN
1.Pengertian Sistem Peradilan Pidana Terpadu.
Menurut Prof. Dr. Barda Nawawi Arief, SH. Sistem Peradilan Pidana (SPP) pada hakikatnya identik dengan Sistem Penegakan Hukum Pidana (SPHP). Sistem Penegakan Hukum Pidana pada dasarnya merupakan sistem kekuasaan / kewenangan menegakkan hukum. Kekuasaan/kewenangan menegakan hukum ini dapat diidentikkan pula dengan istilah “Kekuasaan kehakiman”.
Bertolak dari pemikiran tersebut, maka kekuasaan kehakiman di bidang hukum pidana terdiri dari :
a.Kekuasaan Penyidikan (Badan Penyidikan)
b.Kekuasan Penuntutan (Badan Penuntutan)
c.Kekuasan Mengadili (Badan Pengadilan), dan
d.Kekuasaan Pelaksana pidana (Badan Eksekusi)
Keempat kekuasaan tersebut adalah merupakan satu kesatuan system penegakan hukum pidana yang integral atau sering dikenal dengan istilah Sistem Peradilan Pidana Terpadu (Integrated criminal justice system) .
Bahwa dengan demikian ketika kita membicarakan kekuasaan kehakiman, mata kita tidak hanya tertuju kepada lembaga pengadilan (para hakim) tetapi semua elemen yang memiliki kekuasaan dibidang penegakkan hukum yakni Polisi, Jaksa dan Hakim (pelaksanan putusan/penetapan hakim).
Masing-masing komponen tersebut secara administrative berdiri sendiri dan mempunyai tugas dan fungsi tersendiri sesuai dengan kewenangan dan pengaturan yang dimilikinya. Namun tetap harus ada keterkaitan antara sub-sistem tersebut. Keterkaitan antara sub-sistem satu dengan yang lainnya adalah seperti “bejana berhubungan” . Setiap masalah dalam salah satu sub system akan menimbulkan dampak pada sub system lainnya.
2.Independensi Sistem Peradilan Pidana
Independensi atau ketidaktergantungan mengandung makna kebebasan, kemerdekaan, kemandirian atau tidak berada dibawah kendali/kontrol dari lembaga/kekuasaan lain. Istilah dalam UUD’45 adalah “ kekuasaan yang merdeka”, sedangkan dalam GBHN (TAP MPR Nomor IV/1999) dan PROPENAS 2000-2004 (UU Nomor 25 Tahun 2000) digunakan istilah “mandiri dan bebas dari pengaruh penguasa/pemerintah dan pihak manapun”
Bahwa bertolak dari pemikiran kekuasaan Kehakiman secara luas sebagaimana telah diuraikan dimuka, maka kekuasaan kehakiman yang merdeka dan mandiri (independen) harus pula terwujud dalam keseluruhan proses penegakan hukum pidana. Artinya, keseluruhan kekuasaan kehakiman di bidang hukum pidana (kekuasa Penyidikan/Polisi, kekuasaan penuntutan/Jaksa dan kekuasaan mengadili/hakim) seharusnya merdeka dan mandiri, terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah/eksekutif. Jadi pengertian kekuasaan yang merdeka dan mandiri juga seharusnya diperluas, tidak hanya pada kekuasaan peradilan/kekuasaan mengadili saja tetapi kekuasaan yang merdeka dan mandiri pada keseluruhan proses dalam system peradilan pidana.
Hakikat indenpendensi seperti diuraikan diatas, terlihat juga dalam GBHN 1999 dan PROPENAS sebagai berikut :
a.Didalam “Arah Kebijakan” GBHN bidang hukum antara lain dikemukakan perlunya “menata system hukum nasional yang menyeluruh dan terpadu” serta “mewujudkan lembaga peradilan yang mandiri dan bebas dari pengaruh penguasa dan pihak manapun.
b.Didalam PROPENAS antara lain dikemukakan :
-Melemahnya supremasi hukum juga disebabkan oleh kinerja aparat penegak hukum lainnya, seperti Kepolisian, kejaksaan dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) yang belum menunjukkan sikap profesionalisme dan memiliki integritas. Sebagai bagian dari supremasi hukum, maka secara kelembagaan posisi kepolisian dan kejaksaan yang belum mandiri menjadi penyebab tidak berjalannya penegakan hukum yang efektif, konsisten dan indiskriminatif.
-Pembaharuan hukum yang terkotak-kotak (fragmentaris) dan tambal sulam diantara instansi/lembaga pemerintahan harus dihindari. Penegakan hukum harus dilakukan secara sistematis, terarah dan dilandasi oleh konsep yang jelas.
-Pembenahan kelembagaan peradilan dan lembaga penegak hukum lainnya ditujukan untuk mewujudkan lembaga pengadilan, khususnya Mahkamah Agung (MA), lembaga kepolisian dan lembaga kejaksaan yang mandiri dan bebas dari pengaruh penguasa dan pihak manapun, tidak memihak (imparsial), transparan, kompeten, memiliki akuntabilitas, partisipatif, cepat dan mudah diakses.
-Pemberdayaan lembaga peradilan benar-benar independent atau bebas dari intervensi pemerintah serta pengaruh dari pihak lain perlu terus diupayakan dan diharapkan dapat memulihkan kepercayaan masyarakat kepada peradilan. Demikian juga koordinasi antara lembaga peradilan dengan lembaga-lembaga penegak hukum lain, seperti kepolisian dan kejaksaan perlu semakin ditingkatkan dan dimantapkan, sehingga sentralisme kepentingan dari masing-masing lembaga dapat dihindari.
Bertolak dari hal-hal tersebut, maka PROPENAS menggariskan “Program Pemberdayaan Lembaga Peradilan dan Lembaga Penegak Hukum lainnya” antara lain sebagai berikut :
-Guna mewujudkan lembaga pengadilan, khususnya MA, lembaga kepolisan dan lembaga kejaksaan yang mandiri dan bebas dari pengaruh penguasa dan pihak manapun, perlu dilakukan perubahan terhadap konstitusi dan peraturan perundanga-undangan yang relevan.
-Upaya untuk memandirikan lembaga peradilan dan lembaga penegak hukum lain, perlu diimbangi dengan menciptakan system pengawasan dan pertanggungjawaban yang baik. Selain itu, dalam menunjang teciptanya system peradilan yang terpadu,perlu dilakukan sinkronisasi peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai tugas dan weweanga hakim dan aparat penegak hukum, khususnya antara PPNS dan kepolisian dan kejaksaan dan antara hakim dan pejabat peradilan administrasi. Sinkronisasi ini menjadi penting untuk menghindari tumpang tindih tugas dan wewenang aparat penegak hukum yang selama ini terjadi sehingga upaya penegakan hukum dan masyarakat pencari keadilan benar-benar terwujud.
Bertolak dari pengertian di atas, maka indenpedensi /kemandirian yang ditujukan oleh GBHN dan PROPENAS adalah kemandirian pada semua kekuasaan penegakan hukum sebagai satu kesatuan. Jadi bukan kemandirian parsial (Fragmenter), tetapi kemandirian yang integral dalam suatu system. Hal inipun terlihat dari berbagai penegasan PROPENAS di atas menyatakan, bahwa harus dihindari pembaharuan hukum yang terkotak-kotak (fragmentasi), dan harus dihindari sentralisme kepentingan dari masing-masing lembaga penegak hukum.
3. Independensi Lembaga Kejaksaan
Bahwa lembaga kejaksaan dengan undang-undang nomor 16 tahun 2004 telah diberikan kewenangan untuk melaksanakan kekuasaan Negara dibidang penuntutan. Kejaksaan memiliki peran yang sangat penting dalam proses penegakan hukum pidana, karena dapat tidaknya perkara pidana masuk ke pengadilan adalah tergantung sepenuhnya oleh Kejaksaan (Penuntut Umum). Peran yang amat besar inilah seharusnya dibarengi dengan idenpedensi dalam melaksanakan kewenangannya tersebut, karena tanpa indepedensi dari kajaksaan maka akan sangat sulit mengarapkan indepedensi kekuasaan peradilan pidana. Dalam praktek peradilan pidana, meskipun hakim bebas tetap terikat dengan apa yang didakwakan oleh penuntut umum. Hakim tidak boleh memutus apa yang tidak didakwakan oleh Penuntut Umum.
Lembaga Kejaksaan dalam perkembangannya telah beberapa kali memiliki payung hukum. Pada masa orde lama dengan undang-undang nomor 15 tahun 1961, pada masa orde baru dengan undang-undang nimor 5 tahun 1991 dan yang sekarang berlaku (masa reformasi) dengan undang-undang nomor 16 tahun 2004. Dari ketiga undang-undang tersebut sebenarnya tidak ada perbedaan yang signifikan mengenai kedudukan dan kewenangan lembaga kejaksaan. Kedudukan kejaksaan justru lebih mantap ketika masa orde lama bila dibanding dengan masa reformsi. Dalam Undna-undang nomor 15 tahun 1961 pasal 1 ayat (1) ditegaskan bahwa kejaksaan adalah alata negara penegak hukum yang terutama bertugas sebagai penuntut umum. Dalam undang-undang nomor 5 tahun 1991 dan uu nomor 16 tahun 2994 justru kejaksaan menjadi lembaga pemerintahan artinya kejaksaan adalah lembaga eksekutif, padahal kalau dilihat kewenangan kejaksaan dalam melakukan penuntutan jelas kejaksaan melakukan kekuasaan dibidang yudikatif. Disinilah terjadi ambivalensi kedudukan kejaksaan dalam penegakan hukum di indonesia. Memang dalam undang-undang 16 tahun 2004 pasal 2 ayat (3) dinyatakan bahwa kekuasaan kejaksaan dilakukan secara merdeka, namun bila dikaitkan dengan kedudukan kejaksaan sebagai lembaga eksekutif maka suatu kemustahilan bila kejaksaan dapat menjaankan kekuasaan dan keweangan dialakukan secara merdeka.
D.KESIMPULAN/PENUTUP
Berdasarkan undang-undang nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, maka jelas bahwa kedudukan kejaksaan adalah sebagai lembaga eksekutif yang melakukan tugas dan wewenang dibidang yudikatif, sehingga sangat mustahil kejaksaan dalam menjalankan tugasnya benar-benar merdeka atau independen.
E.SARAN
Untuk dapat tercapai tujuan penegakan hukum yang benar-benar independent melalui system peradilan pidana terpadu maka harus ada upaya untuk merubah undang-undang yang mengatur lembaga kejaksaan, agar kejaksaan dalam melaksanakan tugas penuntutan benar-benar dapat independen.
Pada era reformasi sekarang ini masyarakat sangat mendambakan agar kekuasaan kehakiman lebih independen dan lebih peka terhadap tuntutan zaman. Independen maksudnya bebas dari tekanan, pengaruh dan isyarat dari eksekutif. Banyak faktor yang mempengaruhi independensi kekuasaan kehakiman baik itu faktor intern maupun faktor ektern. Faktor intern diantaranya terkait dengan SDM hakim, rekrutmen hakim, pendidikan hakim dan juga kesejahteraan hakim. Adapun faktor ekstern diantaranya peraturan perundang-undangan, intervensi proses peradilan, hubungan hakim dengan penegak hukum lainnya, kesadaran hukum dan juga system pemerintahan/politik.
Namun selain independent dengan segala faktor pengaruhnya tersebut, kekuasaan kehakiman juga harus dilaksanakan secara terpadu, artinya saling terkait satu sama lain dan yang terpenting ialah saling kontrol. Jika suatu sistem peradilan pidana tidak saling kontrol, maka tidak dapat kita berbicara tentang Peradilan Pidana Terpadu.
Ketiadaan atau ketidakmaksimalan saling kontrol antar penegak hukum biasanya lebih disebabkan oleh egoisme sektoral. Egoisme sektoral ini dipicu oleh nafsu ingin berkuasa sepenuh-penuhnya dan juga adanya sikap arogansi. Oleh karenanya, dalam rangka mencapai peradilan terpadu, egoisme sektoral harus jauh-jauh dibuang.
Bahwa untuk membentuk Sistem Peradilan Pidana Terpadu, maka ide/jiwa spirit “Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka dan Mandiri” harus terwujud secara integral dalam keseluruhan kebijakan legistalir/perundang-undangan yang mengatur seluruh proses/sistem kekuasaan penegakan hukum.
Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 (yang asli) berbunyi “Kekuasaan Kehakiman dijalankan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang”. Menurut pendapat Andi Hamzah yang dimaksud badan kehakiman lain menurut undang-undang tersebut salah satunya termasuk Jaksa Agung pada Mahkamah Agung. Demikian juga menurut pendapat Barda Nawawi Arief yang dimaksud dengan badan peradilan lain itu adalah polisi dan jaksa.
Bahwa setelah amandemen ke- III (Nopember 2001), pasal 24 ayat (1) UUD’45 berbunyi “Kekuasaan kemakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”. Selanjutnhya dalam ayat (2) dinyatakan bahwa, kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan “badan peradilan yang ada dibawahnya” dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Perubahan ini justru memberi kesan kuat bahwa kekuasaan kehakiman yang merdeka hanyalah kekuasaaan untuk “menyelenggarakan peradilan” atau “kekuasaan mengadili”.
Hal ini menurut penulis, politik hukum pemerintah dalam hal kekuasaan kehakiman dengan amandemen pasal 24 UUD 1945 adalah kurang tepat, karena justru telah mengalami kemunduran, dimana sebelum dilakukan amandemen kemandirian kekuasaan kehakiman adalah juga termasuk kemandirian Jaksa dan polisi (badan kehakiman lain) yang memang merupakan satu kesatuan (sub-sistem) dari badan peradilan sebagai pemegang kekuasaan Negara dalam menegakkan hukum dan keadilan. Dan dengan amandemen justru menempatkan polisi dan jaksa terlepas dari kekuasaan kehakiman dan masuk dalam kekuasaan eksekutif, sehingga akan sangat sulit polisi dan jaksa dapat menjalankan tugas dan wewenangnya secara merdeka dan mandiri.
Memang benar, bahwa hakim bebas dalam mengambil keputusan, namun hakim tetap terikat dengan apa yang didakwakan dan dituntut oleh Penuntut Umum, hakim tidak boleh menjatuhkan pidana di luar dakwaan penuntut umum, demikian juga apa yang didakwakan oleh Penuntut Umum dalam persidangan juga tidak terlepas dari apa yang dibuat oleh penyidik dalam proses penyidikannya.
B.PERMASALAHAN
Dari latarbelakang sebagaimana diuraikan dalam pendahuluan timbul permasalahan “Bagaimana indenpendensi kejaksaan dalam kaitannya dengan system peradilan pidana terpadu”.
C.PEMBAHASAN
1.Pengertian Sistem Peradilan Pidana Terpadu.
Menurut Prof. Dr. Barda Nawawi Arief, SH. Sistem Peradilan Pidana (SPP) pada hakikatnya identik dengan Sistem Penegakan Hukum Pidana (SPHP). Sistem Penegakan Hukum Pidana pada dasarnya merupakan sistem kekuasaan / kewenangan menegakkan hukum. Kekuasaan/kewenangan menegakan hukum ini dapat diidentikkan pula dengan istilah “Kekuasaan kehakiman”.
Bertolak dari pemikiran tersebut, maka kekuasaan kehakiman di bidang hukum pidana terdiri dari :
a.Kekuasaan Penyidikan (Badan Penyidikan)
b.Kekuasan Penuntutan (Badan Penuntutan)
c.Kekuasan Mengadili (Badan Pengadilan), dan
d.Kekuasaan Pelaksana pidana (Badan Eksekusi)
Keempat kekuasaan tersebut adalah merupakan satu kesatuan system penegakan hukum pidana yang integral atau sering dikenal dengan istilah Sistem Peradilan Pidana Terpadu (Integrated criminal justice system) .
Bahwa dengan demikian ketika kita membicarakan kekuasaan kehakiman, mata kita tidak hanya tertuju kepada lembaga pengadilan (para hakim) tetapi semua elemen yang memiliki kekuasaan dibidang penegakkan hukum yakni Polisi, Jaksa dan Hakim (pelaksanan putusan/penetapan hakim).
Masing-masing komponen tersebut secara administrative berdiri sendiri dan mempunyai tugas dan fungsi tersendiri sesuai dengan kewenangan dan pengaturan yang dimilikinya. Namun tetap harus ada keterkaitan antara sub-sistem tersebut. Keterkaitan antara sub-sistem satu dengan yang lainnya adalah seperti “bejana berhubungan” . Setiap masalah dalam salah satu sub system akan menimbulkan dampak pada sub system lainnya.
2.Independensi Sistem Peradilan Pidana
Independensi atau ketidaktergantungan mengandung makna kebebasan, kemerdekaan, kemandirian atau tidak berada dibawah kendali/kontrol dari lembaga/kekuasaan lain. Istilah dalam UUD’45 adalah “ kekuasaan yang merdeka”, sedangkan dalam GBHN (TAP MPR Nomor IV/1999) dan PROPENAS 2000-2004 (UU Nomor 25 Tahun 2000) digunakan istilah “mandiri dan bebas dari pengaruh penguasa/pemerintah dan pihak manapun”
Bahwa bertolak dari pemikiran kekuasaan Kehakiman secara luas sebagaimana telah diuraikan dimuka, maka kekuasaan kehakiman yang merdeka dan mandiri (independen) harus pula terwujud dalam keseluruhan proses penegakan hukum pidana. Artinya, keseluruhan kekuasaan kehakiman di bidang hukum pidana (kekuasa Penyidikan/Polisi, kekuasaan penuntutan/Jaksa dan kekuasaan mengadili/hakim) seharusnya merdeka dan mandiri, terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah/eksekutif. Jadi pengertian kekuasaan yang merdeka dan mandiri juga seharusnya diperluas, tidak hanya pada kekuasaan peradilan/kekuasaan mengadili saja tetapi kekuasaan yang merdeka dan mandiri pada keseluruhan proses dalam system peradilan pidana.
Hakikat indenpendensi seperti diuraikan diatas, terlihat juga dalam GBHN 1999 dan PROPENAS sebagai berikut :
a.Didalam “Arah Kebijakan” GBHN bidang hukum antara lain dikemukakan perlunya “menata system hukum nasional yang menyeluruh dan terpadu” serta “mewujudkan lembaga peradilan yang mandiri dan bebas dari pengaruh penguasa dan pihak manapun.
b.Didalam PROPENAS antara lain dikemukakan :
-Melemahnya supremasi hukum juga disebabkan oleh kinerja aparat penegak hukum lainnya, seperti Kepolisian, kejaksaan dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) yang belum menunjukkan sikap profesionalisme dan memiliki integritas. Sebagai bagian dari supremasi hukum, maka secara kelembagaan posisi kepolisian dan kejaksaan yang belum mandiri menjadi penyebab tidak berjalannya penegakan hukum yang efektif, konsisten dan indiskriminatif.
-Pembaharuan hukum yang terkotak-kotak (fragmentaris) dan tambal sulam diantara instansi/lembaga pemerintahan harus dihindari. Penegakan hukum harus dilakukan secara sistematis, terarah dan dilandasi oleh konsep yang jelas.
-Pembenahan kelembagaan peradilan dan lembaga penegak hukum lainnya ditujukan untuk mewujudkan lembaga pengadilan, khususnya Mahkamah Agung (MA), lembaga kepolisian dan lembaga kejaksaan yang mandiri dan bebas dari pengaruh penguasa dan pihak manapun, tidak memihak (imparsial), transparan, kompeten, memiliki akuntabilitas, partisipatif, cepat dan mudah diakses.
-Pemberdayaan lembaga peradilan benar-benar independent atau bebas dari intervensi pemerintah serta pengaruh dari pihak lain perlu terus diupayakan dan diharapkan dapat memulihkan kepercayaan masyarakat kepada peradilan. Demikian juga koordinasi antara lembaga peradilan dengan lembaga-lembaga penegak hukum lain, seperti kepolisian dan kejaksaan perlu semakin ditingkatkan dan dimantapkan, sehingga sentralisme kepentingan dari masing-masing lembaga dapat dihindari.
Bertolak dari hal-hal tersebut, maka PROPENAS menggariskan “Program Pemberdayaan Lembaga Peradilan dan Lembaga Penegak Hukum lainnya” antara lain sebagai berikut :
-Guna mewujudkan lembaga pengadilan, khususnya MA, lembaga kepolisan dan lembaga kejaksaan yang mandiri dan bebas dari pengaruh penguasa dan pihak manapun, perlu dilakukan perubahan terhadap konstitusi dan peraturan perundanga-undangan yang relevan.
-Upaya untuk memandirikan lembaga peradilan dan lembaga penegak hukum lain, perlu diimbangi dengan menciptakan system pengawasan dan pertanggungjawaban yang baik. Selain itu, dalam menunjang teciptanya system peradilan yang terpadu,perlu dilakukan sinkronisasi peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai tugas dan weweanga hakim dan aparat penegak hukum, khususnya antara PPNS dan kepolisian dan kejaksaan dan antara hakim dan pejabat peradilan administrasi. Sinkronisasi ini menjadi penting untuk menghindari tumpang tindih tugas dan wewenang aparat penegak hukum yang selama ini terjadi sehingga upaya penegakan hukum dan masyarakat pencari keadilan benar-benar terwujud.
Bertolak dari pengertian di atas, maka indenpedensi /kemandirian yang ditujukan oleh GBHN dan PROPENAS adalah kemandirian pada semua kekuasaan penegakan hukum sebagai satu kesatuan. Jadi bukan kemandirian parsial (Fragmenter), tetapi kemandirian yang integral dalam suatu system. Hal inipun terlihat dari berbagai penegasan PROPENAS di atas menyatakan, bahwa harus dihindari pembaharuan hukum yang terkotak-kotak (fragmentasi), dan harus dihindari sentralisme kepentingan dari masing-masing lembaga penegak hukum.
3. Independensi Lembaga Kejaksaan
Bahwa lembaga kejaksaan dengan undang-undang nomor 16 tahun 2004 telah diberikan kewenangan untuk melaksanakan kekuasaan Negara dibidang penuntutan. Kejaksaan memiliki peran yang sangat penting dalam proses penegakan hukum pidana, karena dapat tidaknya perkara pidana masuk ke pengadilan adalah tergantung sepenuhnya oleh Kejaksaan (Penuntut Umum). Peran yang amat besar inilah seharusnya dibarengi dengan idenpedensi dalam melaksanakan kewenangannya tersebut, karena tanpa indepedensi dari kajaksaan maka akan sangat sulit mengarapkan indepedensi kekuasaan peradilan pidana. Dalam praktek peradilan pidana, meskipun hakim bebas tetap terikat dengan apa yang didakwakan oleh penuntut umum. Hakim tidak boleh memutus apa yang tidak didakwakan oleh Penuntut Umum.
Lembaga Kejaksaan dalam perkembangannya telah beberapa kali memiliki payung hukum. Pada masa orde lama dengan undang-undang nomor 15 tahun 1961, pada masa orde baru dengan undang-undang nimor 5 tahun 1991 dan yang sekarang berlaku (masa reformasi) dengan undang-undang nomor 16 tahun 2004. Dari ketiga undang-undang tersebut sebenarnya tidak ada perbedaan yang signifikan mengenai kedudukan dan kewenangan lembaga kejaksaan. Kedudukan kejaksaan justru lebih mantap ketika masa orde lama bila dibanding dengan masa reformsi. Dalam Undna-undang nomor 15 tahun 1961 pasal 1 ayat (1) ditegaskan bahwa kejaksaan adalah alata negara penegak hukum yang terutama bertugas sebagai penuntut umum. Dalam undang-undang nomor 5 tahun 1991 dan uu nomor 16 tahun 2994 justru kejaksaan menjadi lembaga pemerintahan artinya kejaksaan adalah lembaga eksekutif, padahal kalau dilihat kewenangan kejaksaan dalam melakukan penuntutan jelas kejaksaan melakukan kekuasaan dibidang yudikatif. Disinilah terjadi ambivalensi kedudukan kejaksaan dalam penegakan hukum di indonesia. Memang dalam undang-undang 16 tahun 2004 pasal 2 ayat (3) dinyatakan bahwa kekuasaan kejaksaan dilakukan secara merdeka, namun bila dikaitkan dengan kedudukan kejaksaan sebagai lembaga eksekutif maka suatu kemustahilan bila kejaksaan dapat menjaankan kekuasaan dan keweangan dialakukan secara merdeka.
D.KESIMPULAN/PENUTUP
Berdasarkan undang-undang nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, maka jelas bahwa kedudukan kejaksaan adalah sebagai lembaga eksekutif yang melakukan tugas dan wewenang dibidang yudikatif, sehingga sangat mustahil kejaksaan dalam menjalankan tugasnya benar-benar merdeka atau independen.
E.SARAN
Untuk dapat tercapai tujuan penegakan hukum yang benar-benar independent melalui system peradilan pidana terpadu maka harus ada upaya untuk merubah undang-undang yang mengatur lembaga kejaksaan, agar kejaksaan dalam melaksanakan tugas penuntutan benar-benar dapat independen.
Jumat, 09 Januari 2009
komentar seputar hukum
saya akan menuangkan semua uneg2, komentar, opini, curhat dan sebagainya yang ada kaitannya dengan masalah hukum...khususnya pidana karena saya memfokuskan pada masalah hukum pidana
Langganan:
Postingan (Atom)